Pencemaran udara merupakan satu dari sekian banyak penyebab meningkatnya jejak karbon. Saat tulisan ini dibuat, kadar polusi udara di Jakarta yang tinggi masih menjadi persoalan utama bagi warga ibukota. Persoalan mengenai siapa penyebab utama polusi udara di Jakarta ramai diperdebatkan; benarkah asap kendaraan? Atau asap kiriman dari PLTU yang baru beroperasi? Ataukah karena kali ini angin muson timur membawa potensi pencemaran udara lebih tinggi dari biasanya?
Jejak karbon didefinisikan sebagai jumlah total gas rumah kaca - termasuk di dalamnya karbon dioksida (CO2), belerang dioksida (SO2), nitrogen monoksida (NO), nitrogen dioksida (NO2), gas metana (CH4), dan klorofluorokarbon (CFC) - yang timbul sebagai hasil dari berbagai macam aktivitas manusia atau entitas lainnya. Dampak meningkatnya jejak karbon tidak hanya pemanasan global dan perubahan iklim yang tidak menentu, namun di tahap mengancam kesehatan manusia.
UNICEF Global dalam laporannya menuliskan bagaimana generasi muda yang tinggal di Indonesia berisiko tinggi terkena dampak perubahan iklim, yang mengancam kesehatan dan pendidikan. Artikel ilmiah Susan Anenberg - profesor kesehatan dari George Washington University - di Lancet Planetary Health edisi 5 Januari 2022 juga menuliskan bagaimana 1,85 juta kasus asma pada anak secara global akibat paparan nitrogen dioksida, dua pertiganya dialami mereka yang tinggal di area perkotaan dengan kondisi udara tercemar.
Wah, isu pencemaran lingkungan ini tidak bisa dianggap remeh.
Sektor transportasi selalu dianggap penyebab utama meningkatnya pencemaran udara. Memang Laporan Inventarisasi Profil Emisi Gas Rumah Kaca DKI Jakarta yang dirilis Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Provinsi sempat mencatat bahwa sektor transportasi di DKI Jakarta menjadi sumber emisi langsung (direct emission) gas rumah kaca terbesar di tahun 2019. Juga, bagaimana Jakarta menempati urutan pertama kota dengan kualitas udara terburuk di dunia dengan indeks kualitas udara di angka 183 pada 29 Juli 2019.
Tapi benarkah hanya sektor transportasi saja yang harus disorot?
LIMBAH TEKSTIL PENYUMBANG POLUSI UDARA NOMOR DUA DUNIA
Nyatanya limbah produksi juga ikut andil dalam menyebabkan pencemaran udara. Percaya atau tidak, limbah pabrik terutama dari industri pakaian menjadi kontributor terbesar kedua di dunia dalam menyumbang polusi udara. Wow! Dari data yang diperoleh Direktur Asosiasi Daur Ulang Tekstil Inggris, Alan Wheeler, setidaknya industri tekstil di dunia telah menghasilkan kurang lebih 1,2 miliar ton emisi gas rumah kaca.
Tahun 2018, Zero Waste Indonesia menemukan 80% sampah di laut Indonesia merupakan limbah tekstil – lebih banyak dibandingkan sampah plastik. Tambahannya, artikel di Majalah National Geographic, edisi Maret 2020: The End of The Trash juga memuat bagaimana 8,2% dari 57% sampah di Jakarta merupakan limbah tekstil.
MENINGKATNYA PEMINAT FAST FASHION BERPENGARUH PADA PENCEMARAN LINGKUNGAN
Menariknya, selain dihasilkan oleh produsen, limbah tekstil juga dihasilkan oleh konsumen. Hal ini khususnya erat dengan fenomena pasar fast fashion, dimana 41% millenial Indonesia merupakan konsumennya. Berdasarkan hasil penelitian YouGov, setidaknya tercatat 66% masyarakat dewasa di Indonesia membuang paling sedikit satu pakaian dan 25% membuang lebih dari 10 pakaian mereka dalam setahun.
Wah, jika selama ini banyak yang mengira pencemaran lingkungan lebih banyak dari sektor transportasi, ternyata hobi saya yang suka beli baju fast fashion telah tidak langsung ikut andil dalam mencemari lingkungan - ya, karena saya juga suka memberikan pakaian bekas saya ke orang lain - siapa tau dibuang?
Bagaimana tidak? Dengan harga yang relatif murah, tidak dapat dipungkiri bahwa masyarakat begitu dimanja dengan industri fast fashion. Setiap muncul tren terbaru dari brand high-end (yang pastinya tergolong mahal), maka pasar lokal dengan segera meluncurkan koleksi model tersebut dengan harga yang lebih terjangkau.
Begitulah konsep kerja industri fast fashion; mengambil tren busana terbaru dan memproduksinya secara masal dengan harga terjangkau, dalam waktu singkat siap dipasarkan secara luas. Siapa sangka kalau dibalik produksinya ada risiko yang mengancam lingkungan tempat kita tinggal?
Jika kita perhatikan, hampir 60 persen bahan baku fast fashion merupakan kain sintetis seperti nilon, poliester, dan akrilik. Kelemahan material ini adalah mampu melepaskan serat mikro (microfiber) ke dalam air saat dicuci sehingga berpotensi mencemari air. Tentu berbahaya jika akhirnya serat mikro tersebut ikut dibawa hingga bermuara di laut, dimakan oleh biota laut dan akhirnya dikonsumsi oleh manusia, penelitian menunjukkan penemuan serat mikro dalam jumlah tertentu di dalam tubuh mampu mengganggu saluran pernapasan.
Dan bukan hanya air, karena kain sintetis tidak dapat diurai secara biologis, jika sudah habis masa pakainya dan tidak didaur ulang pilihannya adalah dibakar dan dibuang, di mana sisa kain tersebut mampu bertahan selama berabad-abad mengotori lingkungan sekitar. Menurut Yayasan Ellen McArthur, dunia membuang satu truk sampah tekstil (sekitar 12 hingga 14 ton) setiap detik. Laporan Blah Blah Briefing of the Textile and Apparel Sector oleh cKinetics juga menuliskan bagaimana setiap tahunnya, proses manufaktur dan penjualan tekstil serta pakaian menghasilkan 2,5 miliar ton emisi gas rumah kaca. Angka itu merupakan 7,25 persen dari total emisi saat ini dan diperkirakan mampu mencapai 9,5 persen pada tahun 2030.
Tentu kita tidak ingin generasi masa depan kita hidup di tengah lingkungan yang semakin memprihatinkan, bukan? Solusi termudah yang bisa tiap orang lakukan pada akhirnya adalah mengadaptasi gaya hidup baru; gaya hidup berkelanjutan atau yang sering disebut sustainable living, sebuah gaya hidup ramah lingkungan yang dimulai dari kebiasaan sehari-hari.
SUSTAINABLE LIVING; CARA SEDERHANA MELESTARIKAN LINGKUNGAN MELALUI KEHIDUPAN SEHARI-HARI
Inti dari gaya hidup berkelanjutan adalah: mengurangi gaya hidup konsumtif, terutama akan barang-barang yang tidak ramah didaur ulang. Saat ini masyarakat diajak untuk menerapkan prinsip 5R;
▣ Refuse. Menolak mengikuti tren akan penggunaan barang yang mencemari lingkungan.
▣ Reduce. Mengurangi penggunaan barang yang berpotensi merusak lingkungan.
▣ Reuse. Menggunakan kembali barang-barang yang belum habis masa pakainya.
▣ Repurpose. Mengelola ulang barang yang masih bisa digunakan namun berganti fungsi.
▣ Recycle. Mendaur ulang, daripada membuang/membakar barang-barang terutama untuk bahan yang sulit terurai.
Ada banyak hal yang bisa kita lakukan dalam menjalani hidup sustainable living ini, di antaranya:
▧ Mengurangi penggunaan listrik, misalnya pilihlah jenis lampu yang hemat energi.
▧ Mengurangi penggunaan transportasi pribadi. Bepergian menggunakan transportasi umum, sehingga bisa hemat bahan bakar.
▧ Menghemat air dan menggunakannya secara efektif untuk kehidupan sehari-hari.
▧ Jika memungkinkan, mendaur ulang bahan baku yang bisa kembali digunakan.
▧ Menggunakan bahan-bahan yang eco-friendly.
▧ Aktif menanam dan memasak daripada membeli makanan, juga mengurangi penggunaan plastik.
Walaupun masih banyak contoh penerapan sustainable living lainnya, khusus kali ini saya ingin mengajak kita mengurangi sikap konsumtif terhadap fast fashion dan beralih ke sustainable fashion yang lebih ramah lingkungan sebagai salah satu gaya hidup keberlanjutan yang mudah untuk dilakukan sehari-hari.
Sustainable fashion berintikan pada tiga hal:
■ Mempertimbangkan atau mengurangi pembelian pakaian paru
Benarkah kita butuh baju baru? Apakah baju tersebut bisa dipakai berulang kali atau hanya sekali? Apakah pakaian ini bisa didaur ulang atau dialih fungsi ketika sudah tidak digunakan lagi? Setidaknya pemikiran itu harus kita renungkan sebelum menambah muatan lemari kita.
■ Mengenali Material Pakaian
Setelah mengetahui dampak material produk fast fashion bagi lingkungan, maka penting bagi kita untuk mulai memilih material pakaian yang baik bukan hanya ketika dipakai tapi juga untuk lingkungan.
Pilihlah bahan baku organik seperti, katun dan linen organik, atau bisa juga jenis kain daur ulang.
Material alternatif juga sudah banyak tersedia untuk memenuhi kebutuhan akan gaya busana tertentu. Terutama dalam rangka mengurangi penggunaan material kulit hewan yang mana proses produksinya sangat berpotensi mencemari alam, konsumen dapat menggantinya dengan material berbahan mycelium yang berasal dari bahan jamur. Tidak menutup kemungkinan juga bagi para penggemar kain rayon, sekarang sudah ada kain viscose rayon yang mudah terurai.
■ Pilihlah produk dari brand yang mendukung sustainable fashion
Selain bahan baku pakaian, kita perlu mengetahui brand-brand pakaian atau industri tekstil mana yang mendukung gerakan sustainable fashion. Pastikan mereka memiliki visi dan misi yang tepat dalam menjaga lingkungan melalui produk yang dihasilkan, dan juga memiliki lingkungan kerja yang sehat, aman, dan layak bagi para pekerjanya.
SUSTAINABLE LIVING DENGAN MEMILIH BRAND-BRAND PERUSAHAAN ROYAL GOLDEN EAGLE
Nah, di sini saya mau mengajak kita berkenalan dengan RGE - Royal Golden Eagle (RGE), sebuah multi-perusahaan yang sangat mendukung sustainable living. Lebih dulu dikenal sebagai Raja Garuda Mas, perusahaan bertaraf internasional ini mengelola sekelompok perusahaan manufaktur global yang berbasis sumber daya alam.
Didirikan oleh Sukanto Tanoto pada tahun 1973, RGE yang memiliki kantor perusahaan di Singapura, Hongkong, Jakarta, Beijing, dan Nanjing memiliki visi menjadi salah satu grup perusahaan berbasis sumber daya terbesar, terkelola terbaik, dan berkelanjutan, yang menciptakan nilai bagi komunitas, negara, iklim, pelanggan, dan perusahaan. Terbukti saat ini, dengan aset melebihi US $ 20 miliar dan mempekerjakan lebih dari 60.000 karyawan, RGE kerap mendapatkan penghargaan yang berkaitan dengan keberhasilan pengelolaan lingkungan, sebut saja ISO 9001, ISO 14001, OHSAS 18001 certifications dan PEFC FM/CoC forest certifications.
Memiliki wilayah operasional tersebar di Indonesia, Cina, Brasil, Spanyol dan Kanada, RGE berkomitmen terhadap pembangunan berkelanjutan di seluruh lokasi operasionalnya. Hal ini sesuai dengan prinsip Tanoto, yaitu semua bisnis harus dijalankan dengan cara yang baik untuk komunitas/masyarakat, baik untuk negara, baik untuk iklim atau ramah lingkungan, baik untuk pelanggan, dan baik untuk perusahaan.
Atau sering juga disebut 5C;
"Good for the Community, good for the Country, good for the Climate, good for the Customer and good for the Company."
Mungkin masyarakat masih awam dengan nama RGE itu sendiri, tapi bisa jadi sangat akrab dengan brand di bawah ini, yang merupakan anak perusahaan RGE:
▣ APRIL dan Simbol Asia, produk pulp dan kertas
▣ Asian Agri dan Apical, produk bahan kimia minyak sawit/biodiesel/oleo
▣ Bracell, produk serat selulosa
▣ Sateri dan APR, produk serat viscose
▣ Energi Pasifik, produk energi/LNG/CCGT
Bisa dibilang semua kelompok perusahaan RGE sangat peduli lingkungan dalam keseluruhan proses manufakturnya, baik dari hulu sampai ke hilir dalam menyediakan produk-produk kebutuhan sehari-hari. RGE berkomitmen dalam menghindari deforestasi, melindungi lanskap hutan dan lahan gambut, serta menerapkan praktik baik dalam pengelolaan hutan di tempat sumber kayu mereka berasal.
DUKUNGAN RGE DALAM SUSTAINABLE FASHION;
HASILKAN PRODUK TEKSTIL BERBAHAN VISCOSE RAYON YANG MUDAH TERURAI
Sustainable fashion merupakan bagian dari sustainable living. Dalam rangka meminimalisasi perilaku konsumtif akibat meluasnya pasar fast fashion, sustainable fashion hadir sebagai solusi berbusana bagi masyarakat; tampil layak dengan busana yang tidak ketinggalan tren namun tetap ramah lingkungan serta mendukung segi kemanusiaan terhadap para pekerjanya.
Ya, tidak banyak masyarakat yang menyadarinya, namun dibalik melesatnya jumlah produksi fast fashion, banyak pekerja yang tidak mendapatkan haknya. Berdasarkan statistik yang dirilis oleh Fashion United, dari sekitar 75 juta pekerja pabrik di industri fast fashion di dunia, diperkirakan kurang dari 2% yang mendapatkan upah layak. Sedangkan sisanya hidup di bawah garis kemiskinan dengan durasi kerja 16 jam sehari selama 7 hari penuh.
Siapa sangka, dari awal pendiriannya, RGE sudah berkomitmen akan upaya proaktif dalam pelaksanaan konservasi, restorasi, serta pengelolaan sumber daya alam bumi yang berharga melalui kemitraan perlindungan-produksi.
Di sinilah RGE melalui dua anak perusahaannya, Sateri dan APR, sebagai produsen viscose rayon mendukung sustainable fashion. Berpusat di Tiongkok, Sateri saat ini merupakan pemimpin global dalam produksi viscose rayon dengan kapasitas produksi per tahunnya mencapai 1,8 juta metrik ton. Selain itu, Sateri juga mengoperasikan Linz (Nanjing) viscose yarn - pabrik pemintalan benang, serta fasilitas Lyocell dan non-anyaman.
Sementara itu, APR yang berbasis di Pangkalan Kerinci, merupakan kebanggaan Indonesia dengan menjadi produsen viscose rayon pertama yang terintegrasi di Asia dari perkebunan hingga produk kain viscose rayon, dengan kapasitas produksi 300 ribu metrik ton setiap tahunnya.
Dalam mendukung kehidupan yang berkelanjutan, baik APR dan Sateri telah memiliki agenda 2030 yang dimuat dalam APR2030 dan Sateri 2030 yang menjadi target mereka dalam memberikan dampak positif terhadap lingkungan
LEBIH DEKAT DENGAN VISCOSE RAYON APR dan SATERI,
UNTUK SUSTAINABLE FASHION
Viscose rayon atau yang dikenal dengan nama kain rayon merupakan salah satu material garmen yang populer di industri fashion. Selain banyak diperuntukkan dalam membuat busana model gaun, rok, blus lembut, dan beludru sintetis, viscose rayon juga digunakan kain pelapis, selimut, karpet, plastik, dan bahkan wadah sosis.
Pertama kali ditemukan oleh Ilmuwan dan industrialis Perancis Hilaire de Chardonnet (1839-1924), kain viscose rayon yang pertama kali memiliki sifat mudah terbakar sehingga pemasarannya dihentikan dan pengembangannya kemudian dilanjutkan oleh perusahaan Bemberg Jerman. Barulah pada tahun 1892, ilmuwan Inggris Charles Frederick Cross, Edward John Bevan, dan Clayton Beadle sukses menemukan dan mematenkan produk viscose rayon yang pada tahun 1905 berhasil menjadi produk kain rayon komersial pertama di pasaran.
Berupa serat semi-sintetis yang terbuat dari “selulosa” (bubur kayu atau pulp pepohonan), viscose rayon dianggap sebagai alternatif kain sutra yang ramah lingkungan, apalagi jika dibandingkan dengan material katun dan poliester. Tidak butuh lama bagaimana pengaruh fast fashion membuat permintaan pasar akan material serat rayon meningkat. Imbasnya, saat ini viscose rayon dianggap sebagai produk yang berpotensi mengancam lingkungan; baik produknya ataupun proses produksinya.
Setidaknya, ada tiga penyebab utama mengapa viscose rayon dianggap tidak mendukung sustainable living, dan bagaimana brand Sateri dan APR hadir membawa solusi dengan menjadi produsen penghasil viscose rayon yang ramah lingkungan.
1. Sumber Pulp Kayu
Peningkatan produksi viscose rayon dianggap turut berkontribusi terhadap penurunan hutan dunia akibat ditebangi untuk dijadikan perkebunan kayu pulp. Terhitung sekitar 30% produk viscose rayon di pasaran dunia berasal dari pulp yang bersumber dari hutan yang terancam punah dan hutan purba.
APR mengatasinya dengan membangun perkebunan yang dikelola secara berkelanjutan. Hal itu terbukti dengan diraihnya sertikat PEFC (Programme for the Endorsement of Forest Certification) yang membuktikan bahwa bahan baku bubur kayu mereka diperoleh dari hutan tanaman industri terbarukan (pohon acacia dan eucalyptus) yang dikelola secara berkelanjutan. Hal ini guna memastikan bahan mentah tersedia secara terus-menerus dan meminimalkan dampak terhadap lingkungan.
Tambahannya, APR merilis followourfibre.com, sebuah aplikasi yang menggunakan teknologi blockchain yang bertujuan menunjukkan kepada pelanggan APR secara transparan bahwa bahan mentah mereka berasal dari sumber yang berkelanjutan.
followourfibre.com memampukan para konsumen untuk melacak produk viscose mereka dari bahan baku mentah hingga bahan jadi siap pakai melalui gawai pintar. Konsumen tinggal memindai kode QR yang tertera di produk kain. Sungguh menarik!
Pada umumnya, proses produksi viscose rayon sejak dari bahan mentah menjadi kain memerlukan bukan hanya sumber energi yang besar tapi juga berbagai jenis kimia, terutama pada proses pewarnaan. Pulp kayu dibuat dengan cara mengolahnya menggunakan bahan kimia hingga menjadi kental seperti bubur, kemudian disaring dan dipintal menjadi benang halus. Dalam konsep sustainable living, pengerjaan ini harus minim emisi dan terjalin dalam proses produksi melingkar dimana bahan kimia dan limbah dapat didaur ulang.
Nyatanya APR mampu mengelola emisi gas dan penggunaan bahan kimia dalam proses produksinya dengan baik. Menggunakan sistem kontrol loop tertutup, proses manufakturisasi di APR memanfaatkan energi biomassa terbarukan yang mampu membantu memulihkan 90 persen bahan kimia yang digunakan dalam keseluruhan produksi. Di samping itu, letak sumber bahan mentahnya yang berdekatan dengan pabrik ikut menghemat kebutuhan transportasi jarak jauh - baik via laut dan daratan.
Merujuk pada agenda APR2030, APR berkomitmen untuk mencapai emisi nol bersih dari hasil pemanfaatan lahan terhadap mitra pemasok APRIL selama proses produksi berlangsung dan mengurangi separuh intensitas karbon produk APR per ton produksi viscose. Hal itu berkaitan dengan prinsip APRIL Group yang menggunakan sistem panen mekanikal; dimana setiap penggunaan 1 hektar lahan maka perusahaan akan merestorasi 1 hektar lahan lainnya, yang akan tumbuh kembali dalam 5 tahun untuk siklus produksi selanjutnya.
Pada pabrik viscose rayon umumnya, walau telah menggunakan bahan kimia intensif, hanya 70% kadar bubur kayu yang mampu terlarut dalam pembuatan bahan baku viscose. Hal ini sungguh perbuatan yang sia-sia terhadap penebangan pohon. Berbeda dengan di Sateri, pabrik modern mereka menggunakan teknologi Eropa yang berakar pada sejarah keahlian Finlandia, dimana kemurnian dan kualitas produk viscose mereka didapat dari 100% bubur kayu terlarut.
Maka tidak heran jika masing-masing produk baik dari Sateri dan APR berhasil menerima penghargaan ‘Standard 100’ yang diberikan oleh OEKO-TEX®. Hal ini untuk menunjukkan produk viscose rayon yang dihasilkan bebas dari kandungan berbahaya dan aman bagi bayi dan anak-anak. Bahkan pengoperasian viscose mill Sateri telah mencapai sertifikasi STeP by OEKO-TEX® yang merujuk pada keberhasilan di sektor manajemen bahan kimia, lingkungan, sosial, serta kesehatan dan keamanan pada area kerja.
Selain itu, Sateri juga menjadi perusahaan viscose pertama di dunia yang memperoleh label MADE IN GREEN by OEKO-TEX® yang berarti produk viscose Sateri berhasil diverifikasi secara independen sebagai produk yang aman dan bertanggung jawab. Sertifikat Sateri lainnya yang berhasil diperoleh juga mencakup Chain of Custody (CoC) dari Program for the Endorsement of Forestry Certification™ (PEFC™), dan China Forest Certification Council (CFCC). Sateri juga menjadi salah satu pabrik viscose yang telah menyelesaikan penilaian EU-BAT, Higg Facility Environmental Module (FEM), dan Higg Facility Social & Labour Module (FSLM).
3. Peran Dalam Sosial, Komunitas dan Masyarakat
Selain proses produksi yang minim pengeluaran gas emisi dan penggunaan bahan kimia, penting bagi sebuah produsen untuk bertanggung jawab terhadap kesehatan serta keselamatan para pekerja dan masyarakat setempat. Tidak dapat dipungkiri bahwa demi mendapatkan harga jual yang murah, sebagian besar viscose rayon diproduksi menggunakan energi, air, dan proses kimia intensif yang berdampak buruk bukan hanya alam, namun juga pekerja dan komunitas lokal. Sebagian besar proses pembuatan viscose rayon yang dilakukan sangat berpolusi dengan melepaskan banyak bahan kimia beracun ke udara dan saluran air di sekitar pabrik produksi.
Karbon disulfida, salah satu bahan kimia yang digunakan, sering dikaitkan dengan penyebab penyakit jantung koroner, cacat lahir, kondisi kulit, dan kanker pada bukan hanya para pekerja tekstil, namun juga mereka yang tinggal di dekat pabrik serat viscose.
Di APR, kesehatan, keselamatan, dan kesejahteraan seluruh karyawan, kontraktor, dan keluarga mereka adalah prioritas utama yang dijamin perusahaan.
Menurut artikel Industry, tercatat di tahun 2018, APR telah berhasil menyerap tenaga kerja baru sebanyak 4.230 orang pada tahap pembangunan dan 1.218 pada tahap operasional. Hal ini menunjukkan bagaimana operasional pabrik APR bukan hanya bertujuan mengurangi impor bahan baku dan meningkatkan daya saing kompetitif Indonesia secara global di bidang serat rayon, namun juga memberi dampak positif dalam menyediakan lapangan pekerjaan.
Bagi masyarakat sekitar, APR juga tidak menutup akses dalam bermitra dengan masyarakat setempat. Misalnya dengan menyediakan bahan viscose dan pewarna alami bagi produsen kain batik tradisional setempat. Tambahannya, sebagai bagian dari komitmen APR2030, APR juga bekerja sama dengan Grup APRIL dalam membantu mengentaskan kemiskinan ekstrim dalam radius 50 km dari tempat operasi.
KOMITMEN ROYAL GOLDEN EAGLE MENGENAI DAUR ULANG
Produk viscose rayon dari APR telah terverifikasi secara independen bukan hanya akan kualitasnya tapi juga kemampuannya untuk terurai di tanah dan air secara alami saat habis masa pakainya. Hal ini tentunya sudah menjadi misi RGE dalam mengurangi limbah mode yang kian hari makin bertambah bukan hanya di tempat pembuangan sampah, tapi di lingkungan bebas.
Masih mengacu pada visi yang tercanang di APR2030, APR berkomitmen untuk memanfaatkan 20% limbah tekstil yang nantinya didaur ulang untuk memenuhi kebutuhan serat selulosa dalam produksi viskosa sehingga mampu mempercepat proses sirkularitas pada industri tekstil.
Jika membicarakan limbah daur ulang, maka kita tidak bisa melupakan begitu saja akan program “Paper Once More!” yang sukses dilakukan perusahaan APRIL melalui brand PaperOne sejak Maret 2020 lalu. Program daur ulang limbah tekstil yang dilakukan di Singapura, Malaysia, Indonesia, dan negara UEA ini sebagai bentuk komitmen RGE sebagai perusahaan yang memperhatikan aspek keberlanjutan dalam memberikan dampak positif bagi alam, iklim, serta masyarakat.
Melalui program “Paper Once More!”, PaperOne menargetkan untuk siap mendaur ulang 20.000 ton limbah kertas di tahun pertama operasi. Sebagai catatan, pada awal peluncurannya, Malaysia berhasil menyumbang lebih dari 2.000 metrik ton kertas bekas, yang jika ditumpuk tingginya melebihi menara kembar Petronas di Kuala Lumpur!
Brand PaperOne sendiri merupakan produk dari perusahaan APRIL yang kini telah menjadi produsen kertas premium Indonesia yang penjualannya berhasil menembus hingga 70 negara di dunia. Memiliki pabrik yang berdekatan dengan APR di Pangkalan Kerinci, Provinsi Riau, maka tidak heran jika kertas PaperOne terbuat dari pulp berkualitas di bawah perusahaan PT RAPP.
Adapun kelebihan kertas PaperOne dari APRIL GROUP adalah
▣ didukung dengan ProDigi™ HD Print Technology sehingga mampu mengurangi penggunaan tinta sampai dengan 18%.
▣ Memiliki opasitas tinggi, sehingga ketika dicetak kedua sisinya, sisi yang satu tidak akan menerawang ke sisi yang lain.
▣ Menggunakan serat berkepadatan tinggi yang mampu secara akurat mengontrol anisotropi kertas, sehingga akan stabil secara dimensional jika dicetak dengan kecepatan tinggi.
▣ Mendukung paper recycle, karena terbuat dari 100% serat tanaman terbarukan yang mampu terurai.
PAPER UPCYCLING DORONG KREATIVITAS DALAM MENERAPKAN SUSTAINABLE LIVING
Nah selain didaur ulang, ternyata produk PaperOne juga memiliki komitmen dalam mendukung gerakan paper upcycling. Berbeda dengan konsep recycle yang bertujuan membuat barang baru dengan cara menghancurkan barang asli (yang sudah tidak digunakan lagi), upcycle merupakan mengubah fungsi atau manfaat suatu barang tanpa menghancurkan bentuk aslinya. Hal itu terbukti dari seringnya PaperOne mengajak para konsumennya untuk aktif melakukan paper upcycling dengan berkreasi baik dengan produk kertasnya yang sudah tidak terpakai atau dengan boks kemasan produk kertasnyas.
Hm, jadi tertantang untuk uji kreatifitas nih dengan boks-boks kertas APRIL.
Saya sendiri merupakan pengguna setia produk kertas dari APRIL Group, sebagai seseorang yang memiliki usaha kecil di bidang fotocopy dan digital printing, saya mengandalkan produk-produk APRIL dalam menghasilkan cetakan yang berkualitas. Memang saat pandemi berlangsung, usaha saya sempat menurun karena penggunaan kertas berkurang drastis; berkaitan dengan adanya WFH dimana masyarakat beralih ke dokumen digital, serta ditambah adanya isu bagaimana kertas menjadi salah satu ancaman akan keberlanjutan lingkungan terkait dengan penggundulan hutan. Tentulah saya makin khawatir.
Namun nyatanya saya optimis penggunaan kertas tidak akan tergantikan, seperti yang dikatakan Arrigo Berni, seorang pembuat buku asal Italia, “Ketika menulis menjadi kegiatan yang mampu menyerap dimensi pribadi seseorang, saat itulah kertas dan tulisan tangan lebih unggul daripada mengetik di papan tombol.”
Dengan adanya komitmen Royal Golden Eagle (RGE) tentang sustainable living, saya harap mampu mematahkan opini sebagian masyarakat akan kertas sebagai perusak lingkungan. Walaupun penerapan sustainable living di tengah masyarakat belum menyeluruh, tapi keputusan sederhana seperti memilih produk-produk yang mendukung sustainable living seperti yang dihasilkan RGE melalui APR, Sateri, dan APRIL Group adalah awal yang baik. Maka, saya yakin pencemaran lingkungan di masa depan dapat diatasi, walau harus bertahap.